Sejarah Seni Rupa Akhir Abad ke-18 dan Abad ke-19



SENI RUPA AKHIR ABAD KE-18  DAN ABAD KE-19

Akhir abad ke-18 merupakan awal zaman moderen, yang ditandai dengan pendekatan yang lebih rasional dan ilmiah terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. Periode itu disebut Abad Pencerahan dan Revolusi Industri, serta Abad Revolusi Amerika dan Perancis. Pada masa itu sistem monarkhi di Eropa mendapat perlawanan dari konsep republikanisme dan demokrasi.
Dalam seni rupa, pemikiran-pemikiran pada waktu itu diekspresikan dalam aliran Neo-Klasikisme dan Romantikisme serta Realisme pada abad ke-19. Falsafah “seni untuk seni” selanjutnya membuka jalan bagi aliran Impresionisme dan Post-Impresionisme.

A. NEO-KLASIKISME
Sikap rasional dan ilmiah menjadi inspirasi bagi berkembangnya aliran  NeoKlasikisme dalam seni rupa. Penggalian arkeologi kota Pompeii dan Herculaneum pada abad ke-18 mendorong munculnya minat terhadap nilai-nilai klasik masa lalu. Para seniman mendapat informasi baru tentang desain dan ornamentasi Klasik. Minat terhadap negara Romawi kuno memunculkan kembali pemikiran tentang sistem pemerintahan republik, yang dipandang sesuai dengan pemikiran politik pada waktu itu, yaitu masa Revolusi Perancis.
Mengenai klasifikasi aliran Neo-Klasikisme dalam sejarah seni rupa, terdapat perbedaan pendapat diantara pada ahli. Kadang-kadang aliran Neo-Klasikisme dianggap sebagai bagian dari aliran Romantikisme. Namun pada dasarnya terdapat perbedaan di antara kedua aliran tersebut.

1. Aliran Neo-Klasikisme di Perancis
Di Perancis, aliran Neo-Klasikisme sangat berbeda dengan gaya Rokoko sebelumnya. Pada aliran Neo-Klasikisme kontur bentuk dipertegas dengan garis, sedangkan pada gaya Rokoko disembunyikan dalam goresan kuas. Tema yang diangkat juga lebih serius, dengan memusatkan pada mitologi klasik dan tema-tema kesejarahan. Pendekatan rasional memunculkan kembali pandangan estetika Poussin dan menolak pandangan sensualitas Rubens. 
a. Jacques-Louis David (1748-1825)
David merupakan pelopor aliran Neo-Klasikisme di Perancis pada akhir abad ke-18. Ia bekerja pada Raja Louis XVI, namun karya-karyanya mencerminkan pandangan republikanisme. Ketika terjadi Revolusi Perancis David berperan aktif sekaligus dalam seni rupa dan politik. Setelah Napoleon mengubah pemerintahan republik menjadi kerajaan, David bekerja pada Napoleon dan mengembangkan gaya Neo-Klasik. Setelah Napoleon dikalahkan dan terjadi restorasi monarkhi di Perancis, David hidup dalam pengasingan di Brussels. 
Salah satu karya David yang terkenal berjudul Oath of Horatii (1774). Meskipun dikerjakan untuk Louis XVI, karya ini telah mengantisipasi pemikiran republikanisme. Lukisan ini berisi cerita tentang tiga pemuda bersaudara yang akan berangkat berperang demi kerajaan Romawi. Tampak mereka mengangkat sumpah dengan pedang yang dipegang oleh ayahnya, berjanji untuk mengabdikan diri pada nilai-nilai luhur dan kaidahkaidah moral. Tema itu menggambarkan ajaran Neo-Klasikisme bahwa pikiran lebih utama dari pada perasaan. Lukisan dalam beberapa hal bertentangan dengan gaya Rokoko. Warnanya kusam, figur-figur statis (kaku, seperti patung), dan perspektif dirancang secara rasional. Komposisi disusun secara geometrik dan objek utama merupakan latar depan.
Pencahayaan yang tajam dan langsung menunjukkan ciri khas gaya Baroq, bukan NeoKlasikisme.

 Jacques-Louis David.  Oath of Horatii (1774). 
 . 

Karya David yang lain misalnya The Death of Socrates (1787). Dalam lukis ini figur Sokrates mengulurkan tangan kanannya untuk menerima mangkuk yang berisi racun dan mengangkat tangan kirinya, sebagai pernyataan keteguhannya pada pendirian yang luhur. Sokrates yang secara tidak adil dihukum mati mengungkapkan keyakinannya untuk menegakkan hukum. Sesuai dengan prinsip Neo-Klasikisme, bentuk-bentuk horisontal dan vertikal membuat komposisi lukisan itu menjadi stabil. Di latar depan figur Sokrates dan murid-muridnya digambarkan dengan arah tegak dan mendatar, dengan sikap kaku seperti patung.

Jacques-Louis David.  The Death of Socrates  (1787). 
 
             

b. Jean-Auguste-Dominique Ingres /(1780-1867)
Ingres adalah murid David, yang menjadi tokoh Neo-Klasikisme di Perancis sampai pertengahan abad ke-19. Tidak seperti David, Ingres tidak mengabdikan diri pada pemerintahan Napoleon ataupun pemikiran republikanisme Revolusi Perancis.

Jean-Auguste-Dominique  Ingres. Grande Odalisque.  (1814). 
 

Prinsip seni lukis Ingres lebih tegas dari pada David, bahwa garis kontur merupakan unsur utama dalam seni lukis. Meskipun memiliki kepekaan yang mendalam terhadap unsur warna, Ingres menentang tradisi seni lukis Rubens yang menggunakan warna secara emotif. Ingres mengingatkan kembali pertentangan antara ajaran seni lukis Poussin yang menggunakan pendekatan intelektual dan seni lukis Rubens yang menggunakan pendekatan emosional. 
Salah satu karya Ingres yang terkenal berjudul Grande Odalisque (1814). Lukisan ini mengambil tema dari Timur Dekat, menggambaran wanita simpanan raja, tetapi menggunakan gaya Neo-Klasik. Seperti karya David pada umumnya, lukisan ini memiliki tekstur permukaan yang halus dan penggambaran figur yang kaku, seperti patung. Berbeda dengan David, Ingres menggunakan bentuk figur yang dipanjangkan (elongated) dan diabstraksikan, seperti dalam lukisan Manneris pada abad ke-16 (misalnya lukisan El Greco). Objek wanita itu tampak menonjol ke depan, memberikan kesan seperti relief. 

2. Neo-Klasikisme di Luar Perancis
Selain di Perancis, aliran Neo-Klasik juga muncul di Inggris dan Amerika. Tokoh aliran Neo-Klasik di Inggris adalah Angelica Kauffman dan di Amerika, Thomas Jefferson.

a.   Angelica Kauffman (1741-1807)
Kauffman adalah pelukis wanita kelahiran Swiss yang belajar di Itali dan kemudian menetap di London. Kauffman bersama-sama dengan Sir Jushua Reynolds mendirikan Royal Academy di Inggris. Kauffman banyak mengerjakan dekorasi untuk menghiasi interior Neo-Klasik yang didesain oleh Robert Adams. Ia dikenal dengan lukisannya yang bertema sejarah dan potret. Karya Kauffman misalnya Painting: Color (1780), yang merupakan lukisan kanvas untuk langit-langit ruang kuliah di Royal Academy.

Angelica Kauffman. 
Painting: Color (1780). 

          

b.  Thomas Jefferson (1743-1826)
 Thomas Jefferson adalah presiden Amerika Serikat yang ketiga dan sekaligus arsitek. Jefferson merancang bangunan dengan gaya Neo-Klasik. Selama menjabat menteri untuk Perancis pada tahun 1784 sampai 1789, ia belajar tentang seni bangun Eropa moderen dan seni bangun Romawi kuno. Ia merancang beberapa gedung pemerintah di Amerika, di antaranya gedung pemerintah pusat negara bagian Virginia (Virginia State Capitol) dan gedung Universitas Virginia.
 Thomas Jefferson juga merancang bangunan rumah kediamannya yang diberi nama Monticello. Bangunan ini didasarkan pada bangunan abad ke-16, Palladio Villa Rotunda. Bangunan ini pernah dimodifikasi pada tahun 1796 sampai 1806, dengan mengurangi unsur yang berasal dari Palladio tersebut. Ciri-ciri bangunan ini di antaranya kubah yang dibangun di atas dinding berbentuk oktagonal serta portiko (teras depan) yang menggunakan susunan Dorik.

Thomas Jefferson.  Monticello.
 


B. ROMANTIKISME
Romantikisme adalah gerakan seni rupa yang muncul pada akhir abad ke-18. Dalam Romantikisme unsur emosi lebih diutamakan dari pada pikiran, tetapi seniman Romantik tidak hanya bekerja dalam satu gaya saja. Tidak seperti Neo-Klasikisme, yang dapat disebut sebagai gaya, Romantikisme lebih merupakan falsafah atau pandangan. Aliran ini mendorong orang untuk menghayati perasaan melalui penghayatan indera serta lebih mempercayai intuisi dari pada pikiran. Romantikisme muncul dalam beberapa gaya, tetapi seni lukis di Perancis khususnya menunjukkan ciri khas Neo-Baroq, yang merupakan pengaruh Rubens.

3. Romantikisme di Perancis
a. Theodore Géricault (1791-1824)
Theodore Géricault adalah salah satu tokoh pelukis Romantik di Perancis. Ciri khas lukisan Géricault di antaranya komposisi yang dinamis, figur yang kaku seperti patung, dan pencahayaan yang dramatis. Géricault merupakan pengagum Michelangelo, David, serta seni lukis Baroq.
Salah satu karya Géricault adalah Raft of the Medusa (1818-1819) yang berukuran sangat besar, yaitu 4,97 x 7.16 m. Tema lukisan itu didasarkan pada peristiwa tenggelamnya kapal Perancis, La Medusa, di pantai Afrika pada tahun 1816. Di antara 150 orang penumpang di dalam kapal itu, hanya 15 orang yang selamat. Mereka membuat rakit dari puing-puing kapal itu dan terapung-apung di laut selama 13 hari.
Dalam lukisan ini objek rakit dan figur-figur membentuk komposisi diagonal untuk menekankan kesan gerak. Unsur gelap-terang dibuat sangat kontras untuk menggugah perasaan. Untuk mencapai efek realisme yang begitu kuat, Géricault melakukan studi terhadap mayat-mayat di kamar mati. Dalam menggambarkan manusia telanjang, Géricault mendapat pengaruh dari Michelangelo.

Theodore Géricault. 
Raft of the Medusa 
(1818-1819).  

b. Eugène Delacroix (1798-1863)   
Eugène Delacroix mendapat pengaruh dari Géricault serta inspirasi dari Rubens. Berlawanan dengan Ingres, Delacroix mengutamakan warna dan goresan yang kuas sebagai ciri khas lukisannya yang penuh emosi. Beberapa karya Delacroix menjunjung nilai-nilai sesuai dengan isu-isu politik pada zamannya. Adegan seperti dalam The Masacre at Chios (1821-1824) mendorong simpati bangsa Yunani dalam perang kemerdekaan melawan Turki.
Karya Delacroix Liberty Leading the People (1830) mendukung semangat Revolusi Perancis pada tahun 1830. Banyak karya Delacroix yang lain mendapat inspirasi dari karya sastra.
Karya Delacroix Death of  Sardanapalus (1827) didasarkan pada puisi karya Lord Byron. Puisi ini mengisahkan seorang raja Asiria yang memutuskan untuk bunuh diri dan menyuruh agar semua harta bendanya dimusnahkan, dari pada jatuh ke tangan musuh yang akan menyerbunya. Dari tempat tidur kematiannya Sardanapalus menyaksikan sendiri gundiknya dan kuda-kudanya dibunuh saat berjuang membela diri. Pelukis Romantik menyukai tema-tema yang mengandung sensualitas dan kejahatan. Ungkapan kekerasan yang mencolok ditekankan dengan pencahayaan yang dramatis, warna emotif, goresan kuas yang ekspresif, dan gerakan figur-figur yang membentuk komposisi diagonal.

 
Eugène Delacroix. Liberty Leading the
                                                                                                                 People (1830).

Eugène Delacroix. The Masacre at Chios (1821-1824).




Eugène Delacroix. Death of  Sardanapalus (1827).
 


4. Romantikisme di Spanyol
a. Franciso Goya (1746-1828)
Selain sebagi tokoh seni lukis Romantikisme, Franciso Goya juga tokoh seni grafis. Karya Goya mencerminkan gaya Baroq, dengan ciri-ciri pencahayaan dramatis, goresan kuas yang halus, dan komposisi yang menekankan kekuatan diagonal.
Goya bekerja pada raja Spanyol, tetapi ia penganut republikanisme. Goya mendukung penyerbuan tentara Napoleon ke Spanyol dan berharap Napoleon akan melakukan reformasi di negerinya. Namun, setelah Perancis menduduki Spanyol, harapan itu musnah, karena melihat kekejaman tentara Napoleon. Setelah Perancis berhasil dikalahkan, Goya mulai membuat serangkaian etsa berdasarkan pengamatannya tentang kekejaman tentara Napoleon.
Karya Goya The Third of May, 1808 (1814) merupakan peringatan tentang peristiwa hukuman mati terhadap orang-orang Spanyol, yang melakukan perlawanan terhadap tentara Perancis di Madrid. Goya melukiskan orang-orang itu dengan penuh kekuatan emosi, dengan mengolah unsur gelap-terang. Ia menggambarkan figur tentara Perancis seperti robot, mengarahkan senapannya pada tawanan yang tampak tidak bisa berkutik lagi. Di sini tidak terdapat kesan heroik pada orang-orang Spanyol itu, tetapi kengerian sebagai korban ketidakadilan.

Franciso Goya. 
The Third of May, 1808  (1814). 

 

5. Romantikisme di Inggris
a. John Constable (1776-1837)
John Constable berangkat dari gaya naturalisme dan dikenal dengan lukisannya yang menggambarkan alam pedesaan Inggris. Constable menyukai objek alam dan mengamati sifat-sifat transiennya dengan teliti, seperti awan dan iklim yang berubah-ubah. Ia biasanya melukis dalam ukuran kecil, sebagai studi yang dilakukan secara langsung di lapangan, yang kemudian dipindahkan dalam ukuran besar di studio.
Karya Constabel The Hay Wain (1821) menimbulkan rasa puitis yang mencerminkan kecintaannya terhadap pemandangan alam Inggris. Lukisan itu menampakan kesegaran alam, dengan cahaya matahari dan awan bergerak di atas sebuah desa. Di sini tampak adanya perpaduan antara gaya naturalisme dan Romantikisme.
Constable memperkenalkan teknik melukis dengan goresan kuas pendek-pendek dan warna yang terpisah-pisah, bukan bidang dengan sapuan warna campuran yang merata. Ia mengoleskan warna putih secara tebal, untuk mengesankan kilauan cahaya. Cara melukis ini dianggap sebagai antisipasi bagi munculnya Impresionisme di Perancis.
             
John Constable. 
The Hay Wain (1821). 
 

b. Joseph Mallord William Turner (1775-1851)
Joseph Mallord William Turner merupakan pelukis pemandangan alam Romantik, tetapi menunjukkan ciri-ciri yang jauh berbeda dengan Constable. Turner menggunakan pendekatan yang lebih transedental. Ia melukis gunung, laut, dan tempat-tempat yang ada kaitannya dengan sejarah, namun ia menterjemahkan objek-objek itu kedalam pernyataanpernyataan puitis yang sering melenceng jauh dari sketsa-sketsa awalnya. Kadang-kadang karyanya tampak mendekati abstraksi total sebagai studi suasana cahaya dan warna. Oleh karena itu, karya Turner sering dianggap sebagai rintisan Impresionisme. Namun, pendiriannya lebih subjektif dan dekat dengan Romatikisme. Karya Turner misalnya Fishermen at Sea (1796).

Joseph Mallord William  Turner. Fishermen at Sea.  (1796). 


6. Romantikisme di Amerika
a. Thomas Cole (1801-1848)
Thomas Cole adalah tokoh aliran Romantik di Amerika. Cole memimpin kelompok pelukis Hudson River School. Lukisan Cole berupa panorama yang mengkombinasikan naturalisme dan idealisasi keagungan. Cole melakukan perjalanan ke hutan-hutan untuk merekam alam secara langsung melalui sketsa-sketsa, dan kemudian menyelesaikannya dalam bentuk lukisan di studio.
Dalam karyanya, The Oxbow (1836), Cole memperlihatkan gambaran visual tentang suatu tempat di tepi Sungai Conecticut. Dalam lukisan ini, awan tampak datang dari arah kiri komposisi dan memberikan kesan kesegaran.

Thomas Cole. 
The Oxbow
(1836). 
 

C. REALISME
Realisme dalam seni rupa abad ke-19 merupakan gerakan yang menolak tema NeoKlasikisme dan Romantikisme. Seniman Realis tidak mendasarkan karyanya pada tema mitologi Yunani dan Romawi atau tema dari Timur Dekat, tetapi tema “di sini dan kini”.
Mereka mendasarkan tema lukisan mereka pada pengamatan sehari-hari.

1. Realisme di Perancis
a. Honore Daumier (1808-1879)
Honore Daumier dapat dianggap sebagai seniman Realis, karena karyanya menyuarakan isu-isu sosial dan politik. Daumier banyak mengabdikan dirinya dalam dunia karikatur. Ia bekerja sebagai kartunis politik, namun pada akhir hidupnya banyak berkarya seni lukis.

Honore Daumier. 
The Third Class Carriage
(1862).

 

Karya Daumier The Third Class Carriage (1862) menggambarkan para petani miskin yang memenuhi gerbong kereta api Perancis penuh sesak. Rasa simpati yang mendalam terhadap penderitaan orang-orang itu diungkapkannya secara karikatural. Para petani tampak terpenjara dalam keterasingan dan kelas sosial yang tidak memungkinkannya lagi untuk keluar dari penderitaan itu.

b. Gustave Courbet (1819-1977)
Gustave Courbet adalah pelopor gerakan Realisme pada pertengahan abad ke-19. Konsep Realisme Courbet adalah menolak tema yang tidak terkait langsung dengan pengalaman hidup yang nyata di suatu tempat dan pada waktu tertentu. Ia terkenal dengan ucapannya, “Perlihatkan aku bidadari, aku akan melukisnya.” Pernyataannya bahwa seniman harus melukis objek yang nyata dan ada diikuti dengan manifesto Realisme dan pameran di “Paviliun Realisme” pada tahun 1855.
Lukisan Courbet yang pertama, The Stone Breaker (1849), mengandung ciri-ciri pokok yang menentukan konsep Realisme Courbet. Tema yang menggambarkan lelaki tua dan lelaki muda sedang bekerja di jalan didasarkan pada pengamatan nyata oleh Courbet. Ia mendatangkan mereka untuk berpose di studionya. Ia kemudian menciptakan adegan yang menggambarkan lelaki yang terlalu tua dan terlalu muda untuk jenis pekerjaan itu. Karya
Courbet ini dikritik berbau “sosialistik” pada masa itu. Karya Courbet yang lain misalnya A Burial at Ornans (1849-1950). Lukisan ini menampilkan tema yang tidak lazim tetapi diambil dari kenyataan, yaitu suasana pemakaman.

Gustave Courbet. 
The Stone Breaker (1849).
             
 

Gustave Courbet.  A Burial at Ornans. (1849-1950).

c. Edouard Manet (1832-1883)
Gaya lukisan Edouard Manet merupakan inspirasi bagi perkembangan seni rupa moderen. Ia memulai penggunaan pewarnaan secara datar, menghindari gelap-terang khiaroskuro yang tradisional. Tema lukisan Manet banyak mengacu pada realisme Courbet. Ia juga dianggap sebagai salah satu seniman yang memunculkan gagasan seni untuk seni, bahwa goresan kuas dan warna merupakan unsur pokok dari realitas lukisan.
Manet merupakan tokoh penting bagi pelukis-pelukis muda yang dikenal sebagai kelompok Impresionis. Meskipun ia tidak pernah secara formal sebagai Impresionis, karyakarya akhirnya menunjukkan ciri khas Impresionisme, yaitu penggunaan warna cerah.

 
Edouard Manet. Lucnheon on the     Edouard Manet. Olympia (1863) Grass (1863)

Karya Manet, Luncheon on the Grass (1863), menggambarkan orang laki-laki berpakaian rapi sedang duduk di rerumputan bersama seorang wanita telanjang. Tema lukisan itu jelas tidak dimaksudkan sebagai suatu alegori, tetapi diletakkan dalam kehidupan nyata. Lukisan itu dianggap memalukan oleh banyak kritikus Perancis pada waktu itu, karena isinya yang tidak senonoh itu.
Komposisi dan figur telanjang pada lukisan Manet bersumber pada seni rupa klasik. Lukisan itu didasarkan pada engraving Renaisans karya Marcantonio Raimondi, yang selanjutnya bersumber pada karya gambar Raphael (Judgment of Paris). Karya Raphael bersumber pada relief yang menggambarkan figur-figur dewi-dewi sungai yang sedang berbaring. Konsep asli figur telanjang yang ideal masih tampak pada lukisan Manet.

Lukisan Manet yang berjudul Olympia (1863) juga menampilkan figur wanita telanjang dalam konteks nyata. Lukisan mengingatkan karya Raphael Venus of Urbino, namun dimaksudkan sebagai potret seorang pelacur yang sangat terkenal di Paris. Seraya berbaring di tempat tidurnya wanita itu menampilkan tatapan yang ramah dan tanpa malu.

2. Seni Rupa Amerika
a.   Thomas Eakins (1844-1916)
Thomas Eakins menggabungkan seni rupa dan sains dalam fotografi maupun seni lukis. Ia pernah belajar melukis di Eropa pada pelukis akademik Jean-Leon Gerome. Ia juga mendapat pengaruh dari Velazquez, Rembrandt, dan Courbet. Ia tertarik pada gerak tubuh manusia, yang dihasilkannya melalui studi fotografi. Eakins termasuk seniman Amerika yang pertama kali menggunakan studi model telanjang untuk pembelajaran seni rupa, yaitu di Pennsylvania Academy of Fine Arts. Hal ini mengecewakan para kritikus konservatif pada masa itu. Karya Eakins The Agnew Clinic (1875) dan The Gross Clinic (1889) menggambarkan suasana di kamar operasi.

Thomas Eakins. The Agnew Clinic (1875).
 
b.  Henry O. Tanner (1859-1937)
Henry O. Tanner adalah pelukis Afrika-Amerika yang belajar pada Eakins di Philadelphia pada tahun 1880-an. Lukisan Tanner yang terkenal berjudul The Banjo Lesson (1893) yang dikerjakannya setelah pindah ke Paris. Lukisan ini menunjukkan tema kehidupan sehari-hari dengan gaya Realisme objektif, yang merupakan pengaruh Eakins.

Henry O. Tanner. 
Banjo Lesson (1893)


      

D. IMPRESIONISME
Gerakan Impresionisme berkembang dari gerakan Realisme, yang meneruskan tradisi melukis berdasarkan pengamatan objek dalam kenyataan sehari-hari. Namun, tidak seperti seni lukis Realisme, seni lukis Impresionisme menggunakan warna yang terang. Pelukis Impresionis merekam kesan pengamatannya melalui goresan kuas yang tampak spontan dan kasar (sketchy), sehingga sering kali objek tampak kabur, tidak terfokus.
Istilah “Impresionisme” muncul ketika kelompok pelukis tersebut menyelenggarakan pamerannya yang pertama pada tahun 1874. Istilah tersebut sebenarnya merupakan komentar bernada sinis oleh para kritikus pada waktu itu, karena karya mereka tampak seperti sketsa atau terkesan belum jadi.
Kelompok Impresionis merupakan kelompok pelukis yang pertama kali konsisten dalam melukis di luar ruang. Metode melukis ini disebut dengan istilah plein air (open air). Dalam bentuknya yang murni, Impresionisme bermaksud menangkap kesan waktu yang singkat, merekam sensasi visual seperti apa yang tertangkap oleh mata. Impresionisme secara umum dapat dianggap sebagai gaya seni lukis pemandangan alam, namun beberapa pelukis Impresionis menyukai objek manusia.

a. Claude Monet (1840-1926)     
Tokoh utama gerakan Impresionis adalah Claude Monet. Ia adalah pelukis Impresionis murni, yang mendasarkan karyanya pada sensasi visual sesaat. Monet pada dasarnya pelukis pemandangan alam. Objek-objek yang dilukisnya di antaranya ladang opium, tumpukan jerami, pemandangan kota, fasade katedral Gotik, dan stasiun kereta api. 
Karya Monet Impression-Sunrise (1874) mungkin merupakan asal-usul nama Impresionisme. Dalam lukisan itu, objek perahu-perahu tampak dalam latar air biru, dalam suasana pagi yang berkabut pada saat matahari terbit. Objek perahu dan air mengabur menjadi susunan warna yang mendatar pada permukaan lukisan.
Lukisan seri Rouen Cathedral (1894) memperlihatkan fasade katedral yang terbuat dari batu, yang diamati dalam waktu dan suasana yang berbeda-beda. Perhatian Monet tertuju pada bagaimana mengungkapkan pengaruh cahaya dan keadaan cuaca terhadap kesan warna, dengan menggunakan warna-warna tertentu. Di sini bentuk nyata dari katedral itu bukan merupakan hal yang penting, karena soliditas objek larut dalam cahaya.



Lukisan seri Water Lilies (1899) merupakan karya Monet selanjutnya, yang terus digarapnya hingga tahun 1920-an. Di sini Monet lebih bebas menangkap warna daun dan bunga teratai itu sendiri, serta bayangan langit, awan, dan benda-benda lainnya di sekeliling kolam itu.
Claude Monet. 
Water Lilies with the Japanese Bridge (1899). 

  

b. Pierre-Auguste Renoir (1841-1919)
Pierre-Auguste Renoir lebih tertarik pada objek figur manusia, terutama figur wanita telanjang dari pada pemandangan alam. Keterlibatan Renoir dalam gerakan Impresionisme tidak selama seperti Monet. Pada tahun 1880-an ia meninggalkan Impresionisme, memilih kembali menggambarkan figur secara lebih solid.
Selama aktif dalam Impresionis pada tahun 1870-an warna dan goresan kuas Renoir mirip dengan Monet. Namun, ia lebih menyukai objek orang biasa, pada umumnya orangorang dari kelas menengah yang sedang bersenang-senang menikmati aktivitas di waktu luang.
Dalam Luncheon on the Boating Party (1881), Renoir menggambarkan sekelompok orang sedang menikmati makanan, anggur, dan bercakap-cakap di sekeliling meja. Ia masih menggunakan warna-warna Impresionis yang terang, meskipun terdapat penekanan pada soliditas figur-figur yang digambarkan.

 
Pierre-Auguste Renoir.
Luncheon on the
Boating Party (1881)

 
c. Edgar Degas (1834-1917)
Edgar Degas sangat berbeda dengan pelukis-pelukis Impresionis lainnya. Ia tidak menggunakan warna yang menyala, tetapi lebih menyukai warna yang agak gelap seperti warna-warna yang digunakan Manet. Degas masih setia terhadap tradisi seni lukis klasik dan menunjukkan kemahiran dalam teknik menggambar sebagai unsur utama karyanya. Ia bahkan juga memberikan kontur pada figur-figurnya.
Namun, seperti pelukis Impresionis lainnya, Degas mendasarkan tema karyanya pada pengamatan terhadap peristiwa kehidupan sehari-hari. Lukisan Degas menunjukkan pengaruh seni cetak Jepang, yaitu pada sudut pandang yang sedikit ditarik ke atas. Ia menggunakan komposisi snapshot seperti dalam fotografi. Lukisan Degas ini misalnya The Absynthe Drinker (1876).
Selain melukis, Degas sangat mahir dalam lukisan pastel dan juga membuat patung. Objek yang menjadi kesukaan Degas di antaranya penari balet. Karya pastel Degas misalnya After the Bath: Woman Drying Herself (1890). 

 
Edgar Degas The Absynthe Drinker (1876).

d.  Berthe Morisot (1841-1895)
Terdapat beberapa pelukis wanita yang tergabung dalam gerakan Impresionisme, di antaranya Berthe Morisot. Morisot terlibat sejak awal berdirinya gerakan tersebut. Karya Morisot mendapat pengaruh dari lukisan Manet. Tema karya Morisot terutama berkisar pada kehidupan sehari-hari pribadinya, yang merupakan golongan kelas menengah ke atas. Goresan kuasnya terkesan spontan dan kasar (sketchy) dan karya pastelnya tampak menunjukkan kepekaannya yang mendalam terhadap media tersebut. Karya Morisot misalnya The Artist's Daughter with a Parakeet (1890).

Berthe Morisot.  The Artist's Daughter with a Parakeet (1890). 
 

e.   Mary Cassat (1845-1926)
Mary Cassat adalah pelukis Amerika yang berasal dari keluarga kaya di Philadelphia. Pada waktu itu sulit sekali bagi seorang wanita untuk menjadi pelukis yang serius. Namun, latar belakang ekonomi yang kuat memungkinkan baginya untuk mengabdikan hidupnya dalam dunia seni lukis. 

Mary Cassat. 
The Coiffure (1891)

    

Cassat bergabung dengan para pelukis Impresionis di Perancis pada tahun 1877, setelah ia bersahabat dekat dengan Degas. Cassat berhasil mengembangkan gayanya sendiri dengan mempelajari secara serius lukisan Degas dan seni cetak Jepang. Ia banyak melukis objek wanita dan anak-anak. Selain menjadi pelukis, Cassat juga berjasa dalam memperkenalkan kolektor-kolektor kaya Amerika dengan para pelukis Impresionis Perancis. Dalam The Coiffure (1891) Cassat menunjukkan pengaruh seni cetak Jepang, yaitu sudut pandang yang agak dinaikkan, bentuk objek yang disederhanakan, dan pewarnaan yang cenderung datar.

f. James Abbot McNeil Whistler (1834-1903)
James Abbot McNeil Whistler adalah pelukis asal Amerika yang bergabung dengan gerakan Impresionisme di Perancis. Namun, setelah tinggal di Inggris, ia melepaskan diri dengan gerakan tersebut. Tidak seperti pelukis Impresionis di Perancis, Whistler tidak menggunakan warna terang, tetapi lebih menyukai warna keabu-abuan dan kecokelatcokelatan dengan sentuhan warna emas dan merah. Whistler menarik analogi antara kualitas abstrak seni lukis dengan musik, sehingga ia memberi judul karyanya dengan katakata “nokturno, simponi, dan aransemen.” Salah satu diantaranya Nocturne in Black and Gold: The Falling Rocket (1874).
Di samping melukiskan sesuatu objek, bagi Whistler lukisan adalah aransemen bidang, warna, dan gelap-terang dalam suatu komposisi. Falsafah inilah yang mendasari judul lukisannya yang berjudul Arangment ini Black and Grey, No. 1 (The Artist’s Mother) (1872).

 
James Abbot McNeil Whistler.    Nocturne in Black and Gold:       
The Falling Rocket (1874)

E. POST-IMPRESIONISME
Post-Impresionisme merupakan gerakan seni rupa pada tahun 1880-an. Sesuai dengan namanya, gerakan itu merupakan kelanjutan dari Impresionisme. Seniman-seniman PostImpresionisme pertama-tama mendapat pengaruh dari gerakan Impresionisme, namun kemudian menolaknya, kecuali beberapa unsurnya yang mendasar seperti penggunaan warna yang cermerlang.
Post-Impresionisme bukan merupakan gaya tunggal, melainkan meliputi beberapa kecenderungan gaya. Beberapa seniman Post-Impresionis, seperti Cezanne dan Seurat menghidupkan kembali unsur Klasikisme. Seniman yang lain, misalnya Van Gogh dan Gauguin, memasukkan unsur Romantikisme dalam gayanya.
Dalam Post-Impresionisme berkembang beberapa gerakan, misalnya Divisionisme, yang disebut juga Neo-Impresionisme atau Pointilisme, dan Simbolisme atau dalam seni lukis disebut Sintetisme. Beberapa seniman Post-Impresionisme yang lain mengembangkan gayanya sendiri secara lebih bebas.

a. Georges Seurat (1859-1891)
Georges Seurat merupakan tokoh gaya seni lukis yang disebut Divisionisme atau Neo-Impresionisme. Divisonisme mendasarkan gayanya pada pencampuran warna secara optik, dengan teknik broken color, yang telah dirintis oleh Constable dan Delacroix. Gaya ini juga menggunakan goresan pendek-pendek seni lukis Impresionisme. 
Gaya Divisionisme atau Pointilisme Seurat muncul dari Impresionisme, yang mempertahankan tema yang realistik dan warna yang terang. Namun di sini warna disusun secara teratur dalam skema yang formal. Perbandingan warna-warna ditentukan secara pasti untuk mencapai efek campuran warna tertentu secara optik. Goresan kuas juga diatur sebagai titik-titik warna yang seragam. Komposisi lukisan dipersiapkan dengan sketsasketsa awal, sedangkan lukisan final dikerjakan secara teliti di studio.
Karya Seurat A Suday Afternoon at the Grande Yatte (1884-1886) menunjukkan tema dan warna seni lukis Impresionisme. Lukisan ini menggambarkan orang-orang Paris sedang bersenang-senang di sebuah taman di pinggiran kota Paris. Demikian juga, goresan kuas pointilis dan campuran warna secara optis berasal dari unsur Impresionisme. Namun, figur-figur di sini tampak kokoh dan statis, karena komposisi yang bersifat geometrik.

Georges Seurat.
A Suday Afternoon at the 
Grande Yatte (1884-1886)

     

b. Paul Cezanne (1839-1906)
Lukisan Paul Cezanne (1839-1906) juga mengutamakan struktur komposisi dari pada ekspresi perasaan. Cezanne mengikuti pendekatan Poussin dalam menggambarkan alam dan menjadikan Impresionisme lebih kuat dan monumental. Cezanne tidak tertarik pada teknik pewarnaan Impresionisme yang mengorbankan kekuatan bentuk. Ia tidak setuju dengan konsep cahaya yang mengaburkan dan melarutkan bentuk-bentuk, seperti pada karya Monet. Cezanne menggunakan tema dari kenyataan, tetapi ia mengungkapkannya melalui penyerderhanaan bentuk secara geometrik, yang didasarkan pada bentuk konis, bola, dan silinder.
Cezanne juga menemukan metode baru untuk menentukan ruang yang disebut color modeling. Dalam metode ini, warna digunakan secara terpisah untuk mewujudkan perspektif, sebagai alternatif untuk perspektif garis dari seni rupa Renaisans. Pemikiran dasarnya ialah penggunaan warna panas dan warna dingin, dengan efek timbultenggelamnya, untuk menciptakan sistem ruang secara jukstaposisi.

Paul Cezanne.  Mount Sainte-Victoire (1906).
            
Karya Cezanne misalnya rangkaian lukisan yang berjudul Mount Sainte-Victoire. Melalui lukisan-lukisan ini dapat ditelusuri bagaimana Cezanne mengembangkan gayanya. Namun Cezanne tidak pernah meninggalkan metode open-air dalam melukis pemandangan alam, untuk menghasilkan kesan cahaya dan suasana (atmosfer).

c. Vincent Van Gogh (1853-1890)
Van Gogh juga mendapat pengaruh metode open-air dan warna terang Impresionisme, tetapi tidak mengikuti Impresionisme yang ortodoks. Kebanyakan lukisannya didasarkan pada objek alam, tetapi dengan menekankan perasaan berdasarkan penglihatan batinnya.
Karya Van Gogh Starry Night (1889) menggambarkan pemandangan sebuah kota di bawah langit malam hari. Goresan kuas tampak meliuk-liuk dan bergulung-gulung dari bagian kanan komposisi, mengisari objek bintang dan bulan sabit. Kesan gerak bergelombang juga tampak pada objek pegunungan. Gerak ritmis pada objek-objek ini yang mendatar ini diimbangi dengan bentuk pohon cemara yang berdiri tegak di bagian kiri dan menara gereja di bagian tengah komposisi. Pemandangan alam di malam hari ini tidak lagi didasarkan pada pandangan objektif Impresionisme, tetapi dengan pandangan mistis.

Vincent Van Gogh. 
Starry Night (1889).

         


d. Paul Gauguin (1848-1903)
Paul Gauguin mulai melukis sebagai hobi, ketika bekerja sebagai pedagang saham di Paris. Ia kemudian meninggalkan dunia bisnis serta keluarganya untuk mengabdikan dirinya dalam dunia seni rupa. Gauguin merupakan tokoh utama gerakan Simbolis dalam seni lukis.
Simbolisme merupakan gerakan dalam bidang sastra dan seni rupa yang berusaha menemukan tanggapan subjektif tentang dunia dan menolak naturalisme atau pun Impresionisme. Istilah lain untuk gerakan ini adalah Sintetisme, yang merupakan sintesis antara pengalaman nyata dengan pandangan batin.
Gauguin berusaha meninggalkan nilai-nilai material dari abad industri dan kembali pada nilai-nilai lebih sederhana, yang didasarkan pada emosi manusia. Ia berpendapat bahwa kompleksitas kehidupan moderen telah menyebabkan orang menolak perasaan, hanya untuk mengejar nilai-nilai material.  
Gaya Gauguin masih menggunakan warna terang Impresionisme, tetapi meninggalkan unsur naturalisme. Lukisan Simbolis Gauguin mengandalkan bidang warna datar dan bentuk yang disederhanakan, dengan garis kontur hitam seperti pada kaca patri Abad Pertengahan. Warna-warnanya juga bukan warna alami.
Objek lukisan awal Gauguin adalah petani-petani di Brittany di Perancis barat. Mereka hidup sederhana dan dalam kehidupan sehari-harinya sangat menggantungkan diri pada keyakinan agama. Pada akhir perjalanan hidupnya Gauguin tinggal di laut Pasifik Selatan dan melukis kehidupan sederhana orang Tahiti. Ia pindah ke laut Pasifik Selatan, karena menolak peradaban Eropa.
Karya Gauguin berjudul Vision after the Sermon (1888) menggambarkan wanitawanita petani di Brittany sedang menyaksikan pemandangan ketika Jakob sedang bergulat dengan malaikat. Warna terang dan sudut pandang yang ditarik ke atas (pengaruh dari seni cetak Jepang) berasal dari seni lukis Impresionisme. Warna merah pada bidang tanah berasal pandangan batinnya. Ciri khas Gaya Gauguin adalah pola garis lengkung dan pewarnaan yang datar dengan sedikit gelap-terang (modeling). Di Tahiti Gauguin tetap menggunakan ciri-ciri tersebut.

Paul Gauguin. 
Vision after the 
Sermon (1888)

 
e. Toulouse-Lautrec (1864-1901)
Henri de Toulouse-Lautrec mendapat pengaruh dari lukisan Degas. Ia lahir dalam keluarga bangsawan, tetapi hidupnya terganggu oleh kecelakaan, yang menyebabkan kedua kakinya cacat. Ia menjadi seniman berbakat, tetapi hidup dalam lingkungan yang buruk. Ia sering mengunjungi kelab malam dan rumah pelacuran di Paris dan meninggal karena kecanduan alkohol. 
Toulouse-Lautrec memiliki kepekaan dalam menggambarkan orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk tersebut. Ia tidak sekedar menyajikan gambaran dunia objektif, melainkan lebih mengungkapan perasaannya yang mendalam, misalnya dalam At the Moulin Rouge (1892). Lukisan ini menggambarkan suasana di suatu kelab malam, yang tidak lain merupakan potret kehidupannya. 
Dalam lukisan ini pengaruh Degas tampak pada penggambaran objek secara realistik dan efek cropping yang arbitrer. Garis-garis yang melengkung menunjukkan pengaruh Gauguin, demikian juga warna yang ekspresif, misalnya warna hijau pada wajah wanita di bagian kanan lukisan.

Toulouse-Lautrec. 
At the Moulin Rouge 
(1892)

 

f. Edvard Munch (1863-1944)
Edvard Munch adalah seniman Norwegia yang datang di Paris pada tahun 1899. Ia mendapat pengaruh dari Van Gogh, Gauguin, dan Toulouse-Lautrec. Munch mensintesiskan pengaruh ketiga seniman tersebut menjadi gaya lukisannya yang sangat personal yang menjadi sumber munculnya Ekspresionisme.
Karya Munch The Sream (1893) mengkomunikasikan suasana kepanikan yang luar biasa, keputusasaan, dan ketakutan. Pola bentuk figur, air, dan langit yang bergelombang menunjukkan pengaruh lukisan Van Gogh Stary Night. Penggunaan warna secara arbitrer merupakan pengaruh Simbolisme Gauguin, sedangkan efek perasaan yang menakutkan menunjukkan pengaruh lukisan Toulouse-Lautrec.

Edvard Munch.
The Sream (1893).

 

g. Henri Russeau (1844-1910)
Henri Russeau, pensiunan pegawai pabean, mula-mula menjadi kelektor seni rupa, tetapi kemudian mulai melukis ketika berumur setengah usia. Ia tidak pernah belajar seni rupa secara formal dan bukan merupakan bagian dari masyarakat Paris. Ia merupakan semacam pelukis tradsisional, tetapi kemudian Picasso menemukan bakat seni pada diri Rosseau. Meskipun karya Russeau di luar tradisi Post-Impresionisme, misalnya The Snake Charmer (1907), bentuknya yang datar dan dekoratif memiliki hubungan dengan gerakan tersebut dan nantinya merupakan sumber inspirasi bagi seni rupa abad ke-20.

Henri Russeau.  The Snake Charmer (1907).

           

 

Komentar